"Galura SMAVET 2006"

"motto hidup seorang asep sutarya"

"Tiada Hari Tanpa Ibadah"
"Manfaatkanlah Hidupmu Untuk Kebaikan Karena Hidup Hanya 3 Hari, (Kemarin, Hari ini, Esok)
"Hidupku Untuk Allah, Hidup Mulia Atau Mati Syahid"
"Ikutilah Jejak Rosulallah Sebagai Pedoman Langkah Hidup Kita"

"Usaha Tanpa Do'a Bagai Berjalan Tanpa Kaki"
"Sahabatku Semangatku"




Halaman

jika ada hal perlu di pertanyakan silahkan kirim persan ke asepsutarya@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Pemilik

Sabtu, 15 Januari 2011

Konstitusi dan Fungsi-fungsinya


Konstitusi yang dimaksud di sini adalah seperangkat aturan hukum dasar yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam penyelenggaraan suatu negara. Gagasan yang kurang lebih sama dengan paham tentang konstitusi (konstitusionalisme) pertama kali muncul di masa Yunani Kuno. Namun, istilah konstitusi (constitutio) sendiri berasal dari bahasa Latin di zaman Romawi Kuno, yang saat itu mulai dikembangkan oleh filosofnya, Cicero. Konstitusi, dalam arti luas, dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut sebagai undang-undang dasar, maupun tidak tertulis. Hampir semua negara memiliki kontitusi tertulis, hanya beberapa negara yang tidak memilki konstitusi dalam bentuk tertulis, di antaranya Inggris dan Israel. Kerajaan Inggris misalnya, dikenal sebagai negara konstitusional tanpa memiliki konstitusi tertulis atau undang-undang dasar. Artinya, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara diakui sebagai hukum dasar di negara tersebut.



Menurut William G. Andrews, dapat dirumuskan beberapa fungsi konstitusi yang sangat penting baik secara akademis maupun dalam praktek, yaitu; (a) menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitualisme; (b) memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan; (c) menjadi instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi maupun raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara. Selanjutnya, Thomas Paine menambahkan dengan fungsi-fungsi lain, yaitu; (d) sebagai kepala negara simbolik; dan (e) sebagai kitab suci simbolik dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).



Konstitusi di Indonesia

Negara Republik Indonesia pun memiliki sebuah konstitusi tertulis bernama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang pertama kali disahkan sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Selama lebih enam puluh tahun setelah diproklamasikan kemerdekaannya, negara Indonesia dalam sejarah ketatanegaraannya, telah mencatat beberapa upaya perubahan undang-undang dasar, mulai dari pembentukan undang-undang dasar, penggantian undang-undang dasar, sampai perubahan (pembaruan) undang-undang dasar.



Seperti diketahui, setelah Indonesia merdeka pada 1945, tentara Belanda berusaha menduduki kembali wilayah Indonesia dengan melancarkan agresi militer pada tahun 1947 dan 1948. Kemudian, atas peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), wakil-wakil dari Republik Indonesia dipertemukan dengan wakil-wakil dari Kerajaan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tanggal 23 Agustus 1949-2 November 1949. Pertemuan itu menyepakati beberapa hal yang salah satunya adalah mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai konsekuensinya, dibentuklah Undang-Undang Dasar RIS yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS dan mulai berlaku tanggal 27 Desember 1949.



Negara RIS yang berbentuk federasi tidak bertahan lama, dan pada 19 Mei 1950, dibentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kelanjutan dari NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Konstitusi baru yang disusun oleh suatu panitia bersama dan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 diberlakukan mulai tanggal 17 Agustus 1950. Salah satu pasal dalam UUDS 1950 mengharuskan konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menyusun undang-undang dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950. Konstituante sendiri berhasil dibentuk pada tahun 1956 setelah pada bulan Desember 1955 diadakan sebuah pemilihan umum untuk memilih anggota konstituante.



Akan tetapi, majelis konstituante tidak juga berhasil melaksanakan tugasnya untuk menyusun undang-undang dasar baru sehingga Presiden Soekarno menganggap konstituante telah gagal dan harus dibubarkan. Atas dasar itulah, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1949 yang salah satu isinya adalah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI selanjutnya.



Tahap berikutnya, pada masa pemerintahan Orde Baru, UUD 1945 dianggap sakral dan dijauhkan sama sekali dari ide-ide perubahan. Baru setelah era reformasi dimulai pada masa Presiden B.J. Habibie, gagasan tentang pembaruan UUD 1945 bermunculan. Akhirnya, tahun 1999 menjadi tonggak sejarah desakralisasi UUD 1945 dengan diamandemennya naskah konstitusi tersebut dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya, semangat konservatisme yang bertahan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru semakin terkikis dengan dilakukannya amandemen kedua, ketiga, dan keempat secara berturut-turut pada tahun 2000, 2001, dan terakhir 2002.



Sejarah panjang konstitusi negara Indonesia, sejak pembentukan UUD 1945, berbagai penggantian dan perubahan, hingga UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berlaku saat ini membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin bangsa ini dari masa ke masa berusaha sekuat tenaga melahirkan sebuah perangkat hukum dasar yang komprehensif dan terintegrasi serta dapat dijadikan pedoman bagi warga negaranya. Fungsi-fungsi konstitusi yang dijelaskan terdahulu pun dapat menegaskan betapa pentingnya UUD 1945 bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Dapat dikatakan, materi konstitusi atau undang-undang dasar memuat semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan memahami seluruh materi konstitusi, idealnya dapat pula memahami permasalahan-permasalahan yang ada dalam aspek-aspek kehidupan ini.




Sebuah langkah progresif telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu programnya, yaitu memasukkan materi pelajaran tentang UUD 1945 ke dalam kurikulum yang digunakan pada pesantren tradisional di Indonesia. Dengan demikian, mulai saat ini, santri-santri tak hanya bertadarus Al Qur’an dan berusaha memahami kitab kuning setiap malam, tetapi juga mengkaji—tanpa harus menyakralkan—UUD 1945 yang merupakan perangkat hukum dasar positif negaranya. Bukankah ketika di bangku sekolah, para siswa mendapatkan materi tentang cinta tanah air pada mata pelajaran Pendidikan Agama? Semoga rekan yang diceritakan di awal tulisan ini menyadari pentingnya konstitusi sebagai sebuah pondasi untuk menjadikan bangsa—salah satunya adalah dirinya sendiri—dan negara ini dihargai dan dihormati oleh siapa pun.
This entry was posted in HAM, hukum, konstitusi, nasionalisme and tagged hukum, konstitusi, nasionalisme. Bookmark the permalink.

0 komentar :

About us

Common

FAQ's

FAQ's

© 2011-2014 BERANDA SASTRA KEHIDUPAN. Designed by Bloggertheme9. Powered by Blogger.